DiscoverSiniar Kata
Siniar Kata
Claim Ownership

Siniar Kata

Author: Siniar Kata

Subscribed: 0Played: 0
Share

Description

Siniar (podcast) yang menyiarkan pembacaan karya sastra terpilih dan tematis.

Mengarsipkan dan memperdengarkan karya sastra dalam format suara sehingga dapat didengarkan di mana saja. Semoga bunyi dari setiap kata-kata, baik puisi maupun prosa, membuahkan rasa yang menyentuh.

E-mail: siniarkata@gmail.com
4 Episodes
Reverse
“Puisi tidak menyelamatkan apa pun, namun jari-jarinya menyisir rambutku yang dikacaukan cuaca. Sepasang lengannya memeluk kegelisahanku…”  (“Puisi Tidak Menyelamatkan Apa Pun”)  Selain dikenal oleh publik lewat puisi berjudul “Tidak Ada New York Hari Ini”, penyair Aan Mansyur hadir dalam jagat kesusastraan melalui puluhan puisi lain. Sebagian di antaranya bersuasana sendu, sunyi, tapi sekaligus bernuansa gelap dan renung.  Tema puisinya merentang dari cinta sepasang insan, isu sosial, hingga menyentuh jantung puisi itu sendiri: bahasa dalam rangkaian kata dan aksara. Dalam kesempatan kali ini, kami menawarkan pembacaan tiga puisi Aan Mansyur yang menghantarkan makna mengenai puisi, bahasa, juga mengapa kita perlu mengenali dan menggumuli karya indah puisi.  Berurutan, “Kemiskinan Bahasa”, “Kesedihan Puisi”, dan “Puisi Tidak Menyelamatkan Apa Pun”, tiga puisi ini hendak mengantar pendengaran Anda dalam ruang khusyuk bernama “terminal puisi”. Untuk pengalaman terbaik, sebaiknya Anda mendengarkan lewat alat pelantang suara telinga (earphone atau headphone).  Dibacakan oleh Aditya Diveranta. Diarahkan oleh Robertus Rony Setiawan. Dicuplik dari buku puisi Tidak Ada New York Hari Ini (2016) Dirilis di Jakarta, Jumat, 13 November 2020. Diolah-rekam oleh Aditya Diveranta bersama Studio Lokasiniar.
Secara bersahutan, beginilah potongan dialog antara si penyair dan Srimenanti, perempuan pelukis. “Kamu merasa nggak, waktu wawancara aneh itu aku pura-pura bingung dan bego?”  “Enggak.” ”Rugilah aku kalau begitu.”  ”Aku juga tidak untung.” “Terus ngapain kamu mewawancaraiku? Itu hanya akal-akalan kan? Mau kenalan saja ribet.” “Aku cuma disuruh.” “Siapa yang nyuruh? Pasti Hanafi dan Dinda.” “Bukan.” “Siapa?” “Puisi.” “Puisi? Puisi siapa?” “Sapardi.” ”Puisinya yang mana?” “Pada Suatu Pagi Hari.” “Anjrit.” Novel perdana Joko Pinurbo ini seperti sebuah gong yang meringkus pun membungkus cengkerama kita dengan karya-karya Jokpin. Dalam episode ini, Jokpin mengetengahkan percakapan yang hampir tak berjuntrung. Namun tenang, kata “hampir” sungguh membuat kami—semoga Anda pula—terbawa pada ruang bermain cerita yang mengasyikkan. Dalam novel ini, Jokpin memasukkan nama-nama seniman juga sastrawan yang akan dengan cepat dapat ditemukan di kehidupan sosial nyata. Tapi itu pun bila kita dengan sadar memisahkan antara “realitas” dalam teks dan realitas di luarnya. Tiga bagian dari novel yang kami perdengarkan ini memiliki referensi kental dengan cerita di beberapa puisi dan cerpen Jokpin. Kami pilihkan tiga bab yang kami rasa menjadi pokok cerita novel ini. Episode ini akan jauh lebih berkesan bila Anda telah mendengarkan episode sebelumnya, “Sebotol Hujan untuk Sapardi”. (Ah, ya, silakan saja Anda “membungkus” makna dan pesan mana saja dari buah pikir Jokpin lalu membawanya pulang.)  Dibacakan oleh Robertus Rony Setiawan dari novel Srimenanti (April 2019) Dirilis di Jakarta, Sabtu 24 Oktober 2020. Diolah-rekam oleh Aditya Diveranta bersama Studio Lokasiniar.
Inilah sebagian kisah lika-liku “si penyair celana”, begitu Joko Pinurbo menyebut dirinya sendiri, menjemput kesempatan bertemu dengan Sapardi Djoko Damono. Sapardi telah meninggalkan kita semua pada 19 Juli 2020 lalu. Para pembaca dan penikmat karya sastranya tenggelam dalam duka yang nampaknya akan abadi. Namun, melalui cerpen “Sebotol Hujan untuk Sapardi” ini, kita dapat mengenang Sapardi dengan cara lain. Sebuah kehendak mencintai sastra dengan kegembiraan menyambut setiap diksi yang ditawarkan Guru Besar Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia itu. Sekadar upaya penyejuk sisa-sisa tawar hati kita. Untukmu, Pak Sapardi. Selamat menyimak! Arsip cerpen Harian Kompas, Minggu, 7 Juni 2015. Dirilis di Jakarta, Minggu, 4 Oktober 2020. Dibacakan oleh Robertus Rony Setiawan. Diolah-rekam oleh Aditya Diveranta bersama Studio Lokasiniar.
Dicuplik dari buku Bermain Kata, Beribadah Puisi (Desember 2019). Puisi Joko Pinurbo berjudul “Kunang-Kunang” ditulis pada 2010. “Kunang-kunang” merupakan salah satu puisi Jokpin—sapaan akrab penulis—yang digubah dalam bentuk naratif. Seorang anak dan ayahnya menyusuri jalan setapak kenangan, berhiaskan kunang-kunang dan barisan pohon cemara. Perjalanan itu mengantarkan mereka pada kejutan dalam ruang yang hening dan damai. Dirilis di Jakarta, Minggu, 6 September 2020. Dibacakan oleh Robertus Rony Setiawan. Diolah-rekam oleh Aditya Diveranta bersama Studio Lokasiniar.
Comments 
Download from Google Play
Download from App Store