Hidup adalah sesuatu yang fana dan singkat. Banyak orang mungkin merasa bahwa hidup yang singkat ini harus diisi dengan makna. Pemaknaan itu sendiri berasal dari motivasi, yang seringkali kita temukan dalam sesuatu yang lebih besar atau dalam apa yang kita percayai. Hal ini mungkin tampak sederhana, tetapi ketika kita memasuki ranah filsafat—di mana ada fakta-fakta yang seringkali gelap dan rumit—sederhananya hidup bisa berubah menjadi sesuatu yang sangat kompleks dan kacau. Bukan sedikit orang yang akhirnya terjerumus ke dalam jurang nihilitas.
Pasti kita sadar kan dengan banyaknya mendengarkan lagu yang relate dengan pengalaman hidup kita sebelumnya, baik tentang asmara seperti mengagumi orang yang telah memiliki kekasih, sulit melupakan seseorang yang dulunya turut mengisi kehidupan kita, ditinggalkan secara sepihak, ingin kembali seperti dulu namun nyatanya enggak bisa, atau sudah kenal lama dan merasa nyaman tapi akhirnya di-ghosting. Namun, pernahkah kita berpikir bahwa kita tidak selalu menjadi "korban" dalam kisah-kisah tersebut? Kita juga sering kali menjadi "pelaku" dalam kehidupan seseorang.
Kuantifikasi pada pemaknaan kata mahasiswa ironisnya di bunuh dan di rusak oleh mahasiswa itu sendiri. Dan bahkan secara tidak sadar. Dengan hal hal palsu seperti kuantitas untuk memilah mana yang bagus mana yang buruk. Inipun sudah tidak masuk akal lagi ketika perbandingan kualitas, dilakukan kuantifikasi.
Kebahagiaan memang sangat dicari masyarakat khususnya generasi milenial. Romantisme kesenangan duniawi, kekayaan, gengsi, dan kemanjaan milenial, ingin ditarik pada pembatas suci antara jurang kekejaman dunia dan kebahagiaan dunia.
Kita selalu hidup dalam kebahagian, kesenangan, kekayaan dan segala memiliki. Namun terkadang, ketika hal hal tadi hilang, maka kita sedih, depresi, atau bahkan hingga bunuh diri. Mengapa bisa seperti ini?
Dewasa, tentunya kita tidak bisa mengukur kedewasaan seseorang sesuai berdasarkan usianya kan? Kita akan membahas bagaimana bersikap dewasa dalam menjalin hubungan.
Ada yang bilang untuk mengecek kewarasan kita, moralitas kita, kualitas fisik kita, adalah dengan masuk ke alam. Yap ini adalah benar. Alam satu satunya tempat yang tidak akan mengenal mau siapa itu kita, jabatan kita apa, dan se kaya apapun kita. Dan entitas inilah yang memberikan cermin diri kita sendiri.
Sebelumnya kita pernah membicarakan tentang harus bersyukur terhadap apa yang telah kita dapat. Salahsatu cara melatih kita menjadi lebih bersyukur adalah dengan menerapkan untung. Hah? apa itu? Mari kita berkenalan dengan untung.
Kalian pernah nggak sih, merasa ingin menyampaikan sesuatu atau ingin mengungkapkan suatu hal tapi sulit sekali untuk kalian lakukan? Yu kita jelasin kenapa bisa gitu?
Masih ingat kah kita ketika kecil, terjatuh ke ubin dan menangis? Kebanyakan orang tua selalu bilang "duh, ubinnya jahat ya", "duh kursinya jahat ya". Bermula dari sana lah kita menjadi orang yang selalu menyalahkan sesuatu ketika terjadi hal yang tidak diinginkan. Misalnya seperti ketika ingin belajar di malam hari, tiba tiba listriknya mati, yang di salahkan tentunya listrik, karena tidak bisa bekerja dengan baik, namun kita tidak menyalahkan diri sendiri karena lalai dengan waktu, mengapa tidak belajar di pagi hari yang cerah, atau di saat listrik sedang menyala terus menerus.
Waktu adalah hal yang sangat berharga, karena waktu terus berjalan dan tidak akan bisa terulang serta rugi untuk dilewatkan. Kalian pasti pernah mendengar istilah “Time is money” atau “waktu adalah uang”, istilah itu menyimpulkan betapa pentingnya waktu yang ada.
Sebelumnya kita pernah berbicara tentang baik dan buruk, hidup ini selalu dalam keterlibatan baik dan buruk. Baik itu lingkungan, kondisi, keinginan ataupun nafsu. Perspektif baik dan buruk menghasilkan kita yang baik atau buruk.
Pasti kita pernah merasakan kecewa yang teramat berat dan rasa sakit yang teramat dalam sehingga kita menyimpan luka batin yang sangat mengganggu emosi kita tentunya.
Pernahkah kita berfikir bahwa hidup harus dengan kenangan. Dibalik kenangan ini, nampaknya ada paradoks yang mengikat kita, ada hal yang harus kita korbankan atau mau tidak mau harus kita lewati. Ini adalah paradoks kenangan.
Ada waktu dimana kita akan menyadari bahwa apa yang kita perlukan, apa yang kita butuhkan dari bantuan orang lain, namun ternyata mereka seketika menghilang, mereka acuh seakan akan tidak peduli dengan masalah apa yang sedang kita hadapi sekarang. Tapi anehnya kita masih senan tiasa bisa selalu ada untuk mereka. Jika seperti itu siapa yang terlihat menyedihkan?
Pernahkah kita berpikir ada dalang dibalik semua permasalahan di dunia ini? Apakah itu pendidikan? Ekonomi? Sosial budaya? sayangnya bukan hal ini dalang di balik permasalahan dunia. Permasalahan utama manusia adalah .......
Perlu kita ketahui bahwa attidude atau sikap ini sangat penting di kehidupan kita,. Karena kita akan tau bagaimana kita di perilakukan oleh orang lain, selayaknya kita ingin perlakukan. Mau itu di lingkungan pekerjaan, lingkungan keluarga, ataupun di lingkungan pertemanan.
Manusia terkadang hanya menerima dirinya tentang hal baik saja, namun ketika menerima suatu hal yang buruk, maka timbul sebuah pernyesalan, "Lebih baik menjadi diri yang dulu". Namun apakah ini adalah sebuah kebaikan? Apakah benar, diri kita yang dulu adalah lebih baik dari diri kita yang sekarang?
Dalam podcast kali ini sepertinya ditujukan unutk kita yang terlalu mementingkan orang lain sehingga kita lupa bahwa, kita juga berhak untuk bahagia serta mementingkan diri kamu sendiri terlebih dahulu.
Minder adalah sebuah perasaan dimana kita tidak percaya diri dan merasa lebih rendah dari orang lain. Dan manusia tidak pernah luput terlibat dari situasi ini. Namun apakah minder ini menjadi sesuatu hal yang negatif bagi hidup kita?. Minder ini sebuah situasi. yang memberikan nilai ini adalah hal negatif atau hal positif adalah kira sendiri. Segala sesuatu akan kembali kepada sudut pandang kita.