DiscoverSuarAkademia
SuarAkademia
Claim Ownership

SuarAkademia

Author: The Conversation

Subscribed: 17Played: 469
Share

Description


Suar Akademia adalah podcast ngobrol seru yang menghadirkan akademisi dan peneliti untuk menjelaskan dan mengomentari isu terkini, dipandu oleh para editor The Conversation Indonesia (TCID).
228 Episodes
Reverse
CC BYLaporan terbaru Morgan Stanley dan World Bank bertajuk Asia Faces Rising Youth Unemployment Challenge mengungkap kondisi pasar tenaga kerja di Indonesia yang memprihatinkan. Salah satu sorotan utamanya adalah tingginya tingkat pengangguran di kalangan anak muda, yang mencapai 17,3 persen. Sekilas, meski data tingkat pengangguran terbuka nasional memang tampak stabil dan tidak menunjukkan lonjakan besar. Laporan ini menegaskan bahwa statistik tersebut menutupi persoalan yang lebih dalam, yakni underemployment atau setengah pengangguran. Kondisi seseorang yang bekerja, tetapi tidak sepenuhnya memanfaatkan keterampilannya atau hanya memperoleh penghasilan di bawah standar hidup layak. Dari sisi lain, sekitar 59% dari lapangan kerja baru yang tercipta di Indonesia berada di sektor informal. Artinya mayoritas lapangan pekerjaan yang tersedia tidak memiliki perlindungan sosial, jaminan ketenagakerjaan, atau memberi pendapatan yang stabil pekerjanya. Lantas, mengapa permasalahan ini sulit sekali diselesaikan oleh pemerintah? Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami membahas isu ini bersama Adrian Azhar Wijanarko, seorang akademisi dari universitas Paramadina. Meskipun Indonesia berhasil mempertahankan pertumbuhan ekonomi di kisaran lima persen, Adrian menyoroti paradoks antara pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Pertumbuhan ekonomi yang berada diantara 4 hingga 5 persen setiap tahunnya seakan tidak terasa apabila berkaca dari penyerapan tenaga kerja. Isu terkait sulitnya mendapatkan pekerjaan, PHK, dan laporan dari Morgan Stanley semakin membuat situasi ini perlu diselesaikan secara tepat. Adrian juga melihat tidak banyaknya investasi dari pihak asing yang masuk juga memperparah situasi ini. Ditengah suplai tenaga kerja yang berlimpah, ia menganggap minimnya investasi padat karya dari asing akan membuat banyaknya tenaga kerja yang tidak terserap dan justru akan menambah angka pengangguran. Adrian menilai sudah saatnya pemerintah mendefinisikan ulang standar ketenagakerjaan agar lebih adaptif terhadap ekonomi digital, serta mengeluarkan kebijakan yang menjamin hak-hak pekerja di sektor gig. Hal merujuk banyaknya lapangan pekerjaan informal dan keputusan kaum muda untuk bekerja secara freelance sebagai opsi untuk mengganti pekerjaan formal yang sulit didapatkan. Ia menekankan pentingnya literasi digital dan perencanaan tenaga kerja nasional agar perubahan ekonomi tidak justru memperlebar kesenjangan. Menurutnya, pemerintah perlu memainkan peran lebih strategis dalam mengatur arah perkembangan ini, termasuk memperkuat sistem perlindungan sosial dan pendidikan vokasi. Adrian berpendapat ada 3 hal krusial yang perlu dibenahi pemerintah. Ia menganggap good governance, sistem pendidikan, dan perbaikan hukum ketenagakerjaan krusial untuk mengurai permasalahan pengangguran. Ia melihat pemerintah perlu memperbaiki tata kelola pemerintahan dan memberikan jaminan stabilitas dalam negeri akan membuat investor bisa tertarik untuk masuk kembali ke Indonesia. Perbaikan ini nantinya lambat laun juga akan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi dan membuka lapangan pekerjaan. Yang jadi catatan, perbaikan tata kelola pemerintahan perlu dibarengi dengan usaha peningkatan kapasitas penduduk melalui pendidikan agar menjadi tenaga kerja yang unggul. Ia melihat kurikulum pendidikan perlu ditinjau kembali demi meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi. Kamu bisa mendengarkan episode SuarAkademia lainnya yang terbit setiap pekan di Spotify, Youtube Music dan Apple Podcast.
Satu tahun sudah Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka memimpin Indonesia. Masa satu tahun pertama pemerintahan idealnya menjadi fase krusial dalam menentukan arah dan karakter bangsa ke depan. Periode ini tidak hanya berfungsi sebagai tahap konsolidasi dan penataan prioritas kebijakan, tetapi juga sebagai ajang pembuktian sejauh mana janji-janji politik dapat diterjemahkan menjadi kerja nyata dan kebijakan yang berdampak bagi publik. Apakah arah kebijakan publik satu tahun ini sudah terlihat baik? Bagian mana yang perlu dibenahi oleh pemerintahan Prabowo? Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami membahas topik ini bersama Adinda Tenriangke Muchtar, Direktur Eksekutif dari The Indonesian Institute. Adinda menyoroti sejumlah persoalan mendasar seperti tidak jelasnya prioritas pembangunan, lemahnya tata kelola, serta minimnya evaluasi kebijakan yang komprehensif. Ia menilai, kebijakan baru kerap gagal menyelesaikan masalah utama karena pemerintah lebih sibuk membentuk lembaga baru daripada memperkuat proses yang sudah ada. Ia menambahkan bahwa efektivitas kebijakan seharusnya tidak hanya diukur dari hasil akhir, tetapi juga dari kualitas proses perumusannya. Dari sejumlah kebijakan yang telah diluncurkan, masih terdapat kekurangan dalam penerapan pendekatan berbasis bukti (evidence-based policy). Kurangnya riset dan perencanaan matang membuat hasil kebijakan sering kali tidak efektif. Adinda juga mengkritik wacana kebijakan nasional yang cenderung didominasi kepentingan politik dan narasi populis ketimbang berpijak pada analisis ilmiah dan pemikiran kritis. Dalam konteks politik yang kompleks, ia menekankan urgensi peningkatan tata kelola dan transparansi dalam proses pembuatan kebijakan publik. Ia menyoroti perlunya memperkuat aspek inklusivitas dan akuntabilitas dalam tata kelola pemerintahan. Kebijakan publik harus mampu mencerminkan keragaman suara masyarakat, termasuk pandangan dari kalangan akademik dan masyarakat sipil. Adinda juga mengingatkan pentingnya kemauan politik dan transparansi untuk meningkatkan efektivitas kebijakan publik. Kebijakan yang baik bukan hanya yang tampak solutif di permukaan, tetapi yang benar-benar mampu menjawab akar masalah sosial. Dalam pandangannya, pemerintah dan DPR perlu lebih terbuka terhadap aspirasi publik serta berkomitmen memperbaiki proses pembuatan kebijakan. Hanya dengan cara itu, tata kelola pemerintahan dapat berjalan efektif sekaligus melindungi hak asasi manusia di tengah dinamika politik yang terus berkembang. Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi. Kamu bisa mendengarkan episode SuarAkademia lainnya yang terbit setiap pekan di Spotify, Youtube Music dan Apple Podcast.
CC BYSidang Majelis Umum Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) tahun ini menjadi sebuah “babak baru” dalam penyelesaian masalah antara Palestina dan Israel. Seruan untuk pengakuan Palestina sebagai negara berdaulat sekaligus komitmen pada solusi dua negara (two-state solution) menggema di ruang sidang. Sorotan publik tertuju pada pernyataan Presiden Prancis, Emmanuel Macron, yang dengan lantang mengumumkan pengakuan resmi negaranya terhadap Palestina. Keputusan ini disampaikan bersamaan dengan Arab Saudi, dan sontak disambut tepuk tangan panjang para delegasi. Langkah tersebut menandai pergeseran diplomatik signifikan yang terjadi hampir dua tahun setelah konflik berdarah di Gaza dan mengubah persepsi global mengenai urgensi penyelesaian damai. Meskipun ditentang keras oleh Israel dan sekutunya, pengakuan ini dinilai memberi angin segar bagi perjuangan Palestina di kancah internasional. Lantas, apakah two-state solution masih menjadi solusi yang terbaik untuk menyudahi pendudukan yang dilakukan Israel terhadap Palestina sejak lama? Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami membahas isu ini bersama Ayu Anastasya Rachman, akademisi dari program hubungan internasional, Universitas Bina Mandiri, Gorontalo. Ayu melihat banyaknya pengakuan dari negara-negara barat ini merupakan langkah penting untuk kedaulatan palestina dan penyelesaian agresi Israel yang sudah sejak lama terjadi. Namun, pengakuan formal ini tidak serta-merta mengubah realitas di lapangan. Pendudukan yang berlanjut, diskriminasi sistematis, dan blokade wilayah tetap menjadi hambatan serius bagi kehidupan sehari-hari warga Palestina. Dengan kata lain, kedaulatan di atas kertas belum berarti kemerdekaan penuh. Ayu juga mempertanyakan apakah two-state solution masih menjadi solusi yang bisa diterapkan dengan cepat. Menurutnya, terlalu banyak tantangan yang harus diselesaikan sebelum memikirkan solusi ini, seperti pembagian wilayah, status Yerusalem, serta keberadaan pemukiman Israel yang terus meluas. Kompleksitas politik internal kedua belah pihak juga memperkeruh situasi. Di Palestina, stagnasi politik akibat absennya pemilihan umum menimbulkan pertanyaan tentang legitimasi kepemimpinan. Sementara di Israel, dinamika politik dalam negeri sering kali menutup ruang kompromi. Ayu menekankan bahwa mendefinisikan kembali batas-batas dan kontrol teritorial menjadi prasyarat mutlak, meski prosesnya berpotensi penuh gesekan. Ayu juga menegaskan bahwa masalah kepercayaan, integrasi sosial, serta distribusi kekuasaan membuat opsi ini sulit terwujud tanpa reformasi besar-besaran, baik di tingkat kepemimpinan maupun dalam dukungan internasional. Ia menegaskan ada prasyarat penting yang harus diperjuangkan seperti gencatan senjata permanen, penghentian kekerasan, serta komitmen nyata dari kedua belah pihak dengan dukungan mediasi internasional. Tanpa itu, pengakuan kedaulatan Palestina akan tetap sebatas simbol diplomatik, jauh dari cita-cita kemerdekaan yang utuh. Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi. Kamu bisa mendengarkan episode SuarAkademia lainnya yang terbit setiap pekan di Spotify, Youtube Music dan Apple Podcast.
Pemerintah resmi meluncurkan paket stimulus ekonomi 2025. Langkah strategis ini diharapkan menjawab tantangan perekonomian nasional yang dihimpit dinamika global dan internal yang berkepanjangan. Kebijakan ini tidak hanya diarahkan pada pemulihan jangka pendek, tetapi juga ditujukan untuk memperkuat fondasi ekonomi nasional dalam jangka panjang. Dalam rencana tersebut, pemerintah merancang 8 program akselerasi di tahun 2025, disusul 4 program lanjutan pada 2026, serta 5 program prioritas yang berfokus pada penciptaan lapangan kerja. Beberapa program utama meliputi program magang bagi lulusan perguruan tinggi, serta inisiatif padat karya yang diarahkan pada sektor-sektor dengan potensi penyerapan tenaga kerja tinggi, seperti pariwisata, hotel, restoran, dan kafe. Paket stimulus ekonomi 2025 ini berusaha menjawab dua tantangan sekaligus: menciptakan peluang kerja baru bagi masyarakat dan menjaga ketahanan ekonomi nasional. Apakah program ini akan memberikan dampak secara maksimal kepada perekonomian Indonesia? Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami membahas stimulus ekonomi ini bersama Ahmad Heri Firdaus (Heri), peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF). Heri melihat stimulus ini tetap punya potensi memberi dampak positif dalam jangka pendek, terutama lewat peningkatan kepercayaan pasar dan dorongan terhadap aktivitas produksi. Namun ia menyayangkan kebijakan stimulus ini “hadir” sedikit terlambat dan seharusnya bisa dikeluarkan oleh pemerintah jauh lebih cepat dibanding sekarang untuk merespon situasi ekonomi yang sedang tidak stabil. Heri mengingatkan bahwa keberhasilan paket ini sangat bergantung pada implementasi yang tepat waktu dan efektif, di tengah tantangan yang tidak ringan seperti inflasi dan tekanan nilai tukar. Heri juga menekankan pentingnya kebijakan jangka panjang untuk meningkatkan daya saing dan produktivitas nasional. Menurutnya, kebijakan stimulus yang dikeluarkan tidak cukup untuk memberikan dorongan pertumbuhan ekonomi secara jangka panjang. Ia menyarankan pemerintah untuk juga memikirkan bagaimana bisa mendukung peningkatan daya saing dan produktivitas nasional secara jangka panjang. Meskipun stimulus ini punya potensi untuk mendorong daya beli masyarakat dan pertumbuhan ekonomi, Heri beranggapan target pertumbuhan ekonomi yang dikejar oleh pemerintah Indonesia untuk tahun 2025 sebesar 5 persen sulit untuk dicapai. Namun ia berpendapat apabila penerapan stimulus 8+4+5 ini berjalan mulus dan tepat waktu, Indonesia memiliki modal yang cukup baik untuk memperbaiki angka pertumbuhan ekonomi di tahun depan. Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi. Kamu bisa mendengarkan episode SuarAkademia lainnya yang terbit setiap pekan di Spotify, Youtube Music dan Apple Podcast.
CC BYDi banyak tempat di Indonesia, mitos bukan sekadar dongeng pengantar tidur atau kisah seram penuh mistis. Ia lahir dari upaya masyarakat untuk memahami dunia di sekitarnya, mulai dari bagaimana membaca tanda-tanda alam, menentukan waktu bercocok tanam, hingga menjaga harmoni dengan lingkungan. Meski sering dianggap tidak masuk akal atau ketinggalan zaman oleh perspektif modern, pengetahuan lokal yang dibalut mitos nyatanya menyimpan logika yang mendalam, terutama terkait ekologi (hubungan manusia dengan lingkungan) dan sosial (hubungan antar manusia dalam masyarakat). Banyak praktik tradisional, seperti cara mengelola sumber daya alam atau menata ruang pemukiman, terbukti selaras dengan prinsip sains modern dan efektif menjaga keseimbangan hidup. Pertanyaannya kemudian: bagaimana pengetahuan lokal bisa tetap eksis di era modern ini? Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami membahas topik ini bersama Y. Argo Twikromo, seorang akademisi dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Argo melihat mitos sebagai medium penting untuk menyampaikan kebijaksanaan leluhur. Lewat narasi yang penuh simbol dan unsur mistis, para leluhur kita mampu menanamkan pesan moral, menjaga kepercayaan kolektif, sekaligus merawat ingatan sosial yang lekat dalam kehidupan sehari-hari. Meski tidak disampaikan dengan istilah ilmiah atau dirumuskan dalam bahasa laboratorium, banyak pengetahuan lokal di antaranya terbukti efektif secara saintifik. Artinya, warisan pengetahuan ini bukan sekadar simbolik, melainkan hasil akumulasi pengalaman nyata yang telah teruji lintas generasi. Argo juga menegaskan bahwa kebijaksanaan tradisional masih relevan di tengah dunia modern yang sarat sains dan teknologi ini. Menurutnya, melestarikan pengetahuan leluhur itu penting sebagai bagian dari menjaga kesinambungan cara manusia memahami alam. Sayanganya, dunia yang didominasi sains modern sering kali menganggap pengetahuan tradisional sekadar “mitos” lalu menyingkirkannya begitu saja. Padahal, menolak mentah-mentah pengetahuan lokal hanya karena tidak sesuai dengan standar modern berarti menafikan nilai-nilai luhur di dalamnya. Argo melihat banyak pengalaman kolektif masyarakat yang diwariskan dalam bentuk lisan justru menyimpan petunjuk penting bagi kelangsungan hidup. Oleh karena itu, pengetahuan lokal seharusnya diakui sejajar, bukan sekadar sebagai pelengkap. Lebih jauh, ia menekankan perlunya pendekatan holistik untuk menjembatani pengetahuan lokal dan sains modern. Harmoni, keluwesan, dan keseimbangan menjadi kunci dalam melihat hubungan keduanya. Belajar dari masa lalu, kata Argo, penting bukan hanya untuk mencegah kesalahan berulang, tetapi juga untuk mengoptimalkan pengetahuan yang telah terbukti bermanfaat. Meski begitu, ia juga mengingatkan bahwa pengetahuan—baik tradisional maupun modern—tidak netral. Jika digunakan dengan benar, ia bisa membangun peradaban, tetapi jika dipakai tanpa etika justru bisa menyebabkan kerusakan. Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi. Kamu bisa mendengarkan episode SuarAkademia lainnya yang terbit setiap pekan di Spotify, Youtube Music dan Apple Podcast.
Di antara maraknya pemberitaan mengenai demonstrasi dan tuntutan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), serta aksi protes atas tewasnya Affan Kurniawan—pengemudi ojek daring (ojol) yang meninggal setelah tertabrak kendaraan taktis Brimob pada Kamis, 28 Agustus 2025—muncul fenomena “SEAblings” yang menghadirkan nuansa berbeda di ruang digital. Fenomena ini berawal dari inisiatif sekelompok pengguna media sosial yang mengekspresikan empati terhadap kondisi sosial di Indonesia pada akhir Agustus 2025 dengan memesan makanan lewat aplikasi pesan-antar untuk para pengemudi ojol di Indonesia. Aksi sederhana tersebut kemudian menyebar dengan cepat dan meluas. Partisipasi tidak hanya datang dari masyarakat Indonesia, tetapi juga dari donatur di Filipina, Singapura, Thailand, dan Malaysia. Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami membahas fenomena ini bersama Amorisa Wiratri, peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional dan postdoctoral fellow dari National University of Singapore. Menurut Amorisa, gerakan ini bersifat organik, sukarela, dan tidak terstruktur. Aksi sederhana seperti berbagi makanan melalui aplikasi dipandang sebagai simbol cinta universal dalam budaya Asia Tenggara, sekaligus menegaskan bahwa platform digital dapat berfungsi lebih dari sekadar sarana komersial. Amorisa membandingkan peristiwa ini dengan gerakan Milk Tea Alliance, yang sama-sama mengandalkan platform digital. Jika Milk Tea Alliance digerakkan oleh motivasi politik terhadap Cina, maka gerakan berbagi makanan lebih menekankan solidaritas kultural dan emosional antarnegara ASEAN. Ia menekankan bahwa meski negara-negara ASEAN memiliki ikatan budaya dan sejarah bersama, identitas nasional masih lebih dominan dibandingkan identitas regional. Hal ini membuat munculnya gerakan solidaritas lintas batas terasa sangat signifikan. Amorisa juga melihat fenomena ini mungkin sulit berkembang menjadi identitas politik regional yang berkelanjutan karena sifatnya yang spontan, temporer, dan tidak memiliki struktur formal. Ia menambahkan bahwa identitas ASEAN sering kali elitis dan rapuh, sehingga sulit dijadikan landasan solidaritas jangka panjang. Meski demikian, Ia menekankan bahwa gerakan solidaritas digital tetap memiliki potensi manfaat yang penting. Menurutnya, fenomena SEAblings ini bisa memperkuat empati lintas batas dan menjadi bentuk perlindungan sosial alternatif bagi kelompok berpenghasilan rendah di tengah situasi darurat. Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi. Kamu bisa mendengarkan episode SuarAkademia lainnya yang terbit setiap pekan di Spotify, Youtube Music dan Apple Podcast.
CC BYRuang publik Indonesia diwarnai oleh fenomena unjuk rasa di berbagai wilayah dalam sepekan terakhir. Aksi berpusat di Jakarta, khususnya di sekitar kompleks Gedung DPR/MPR RI, dengan gelombang protes yang tak kalah ramai di sejumlah kota besar lainnya. Aksi yang dimulai sejak Senin, 25 Agustus 2025 ini diikuti oleh ribuan demonstran dari berbagai elemen masyarakat, mulai dari kalangan mahasiswa, buruh, asosiasi pengemudi ojek online, hingga masyarakat sipil. Protes memanas pada Kamis, 28 Agustus 2025, setelah mobil Polisi melindas Affan Kurniawan, pengemudi ojek online, hingga tewas. Insiden tersebut memicu perubahan pola aksi dari unjuk rasa damai menjadi kerusuhan. Meski mengalami eskalasi, gelombang demonstrasi tidak serta merta mereda. Pada Senin, 1 September 2025 aksi masih terus berlangsung dengan intensitas yang lebih terkendali dan nuansa yang kembali kondusif. Keberlanjutan unjuk rasa ini menunjukkan persistensi tekanan dari masyarakat dan mahasiswa terhadap pemerintah dan lembaga legislatif untuk lebih responsif dalam menindaklanjuti berbagai aspirasi yang disuarakan. Lantas, bagaimana pandangan ahli terkait fenomena yang terjadi beberapa hari terakhir? Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami berdiskusi dengan Amalinda Savirani, guru besar di Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada. Amalinda menjelaskan bahwa kemarahan publik dipicu oleh banyaknya kebijakan pemerintah yang tidak peka terhadap masalah masyarakat saat ini serta buruknya komunikasi politisi dalam merespon protes atau kritik. Menurut dia, demonstrasi belakangan ini bukan dipicu sekadar peristiwa sesaat, melainkan bagian dari gerakan sosial yang lahir dari kekecewaan mendalam terhadap institusi pemerintahan. Menurut Amalinda, gerakan aksi demonstrasi saat ini juga “diperkaya” oleh maraknya konten media sosial yang memberikan banyak informasi kepada publik. Dia mengatakan, media sosial seperti Instagram, Facebook, dan TikTok memang mempercepat penyebaran informasi serta memudahkan mobilisasi massa. Namun, banjir informasi ini justru rentan mendistorsi tuntutan warga dan mengganggu koordinasi aksi. Amalinda mengingatkan aktivisme daring perlu dilengkapi dengan aksi nyata di lapangan. Menurutnya, segala bentuk aspirasi di media sosial juga perlu disampaikan secara langsung. Harapannya, pesan yang ingin diutarakan kepada pemerintah dapat lebih bergaung. Di sisi lain, ia juga menyampaikan kekagumannya terhadap ketahanan generasi muda dalam menghadapi tekanan politik dan sosial. Amalinda mengatakan bahwa dukungan sipil yang konsisten menjadi fondasi penting agar gerakan masyarakat sipil tetap bertahan dan relevan di masa depan. Amalinda menilai bahwa protes kemungkinan besar akan terus berlanjut dalam berbagai bentuk. Sebab, respons pemerintah sejauh ini dianggap tidak menjawab kritik yang disampaikan oleh masyarakat. Ia menekankan pentingnya menjaga stamina, kreativitas, dan arah perjuangan yang jelas bagi seluruh lapisan masyarakat yang ikut menyuarakan pendapatnya di tengah tantangan yang tidak ringan. Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi. Kamu bisa mendengarkan episode SuarAkademia lainnya yang terbit setiap pekan di Spotify, Youtube Music dan Apple Podcast.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memang selalu menarik perhatian publik. Yang terbaru gaji dan tunjangan besar yang diterima para anggota DPR hangat dibicarakan. Salah satu komponen yang menjadi sorotan adalah tunjangan perumahan sebesar Rp50 juta per bulan, yang membuat total pendapatan resmi seorang anggota DPR melampaui Rp100 juta setiap bulan. Informasi ini mencuat setelah anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin, menanggapi pertanyaan tentang sulitnya memperoleh penghasilan halal di lingkungan parlemen. Dalam penjelasannya, Hasanuddin menyebutkan bahwa gaji pokok, tunjangan rumah, serta berbagai tunjangan lainnya menyusun total pendapatan anggota legislatif yang mencapai ratusan juta rupiah per bulan. Lantas, bagaimana pendapat ahli mengenai besarnya tunjangan dan gaji anggota DPR ditengah situasi ekonomi yang sedang tidak baik baik saja? Apakah gaji dan tunjangan elit politik mencerminkan empati terhadap realitas sosial ekonomi rakyat? Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami berbincang dengan Dipo Satria Ramli, ekonom dan mahasiswa doktoral Universitas Indonesia. Dipo melihat angka yang diterima oleh anggota DPR ini kontras dengan daya beli mayoritas masyarakat Indonesia, terutama mereka yang masih berjuang dengan penghasilan terbatas. Ketimpangan tersebut semakin terlihat ketika dibenturkan dengan data Bank Dunia terbaru soal angka kemiskinan. Dipo menyoroti jurang ini sebagai bukti adanya pemutusan hubungan antara pemerintah dan rakyat. Dalam pandangannya, keputusan politik terkait tunjangan mencerminkan kontradiksi. Di satu sisi publik diminta berhemat melalui kebijakan efisiensi. Sementara di sisi lain elit politik memperjuangkan kesejahteraan mereka sendiri. Masalah lain yang mencuat adalah minimnya mekanisme akuntabilitas di parlemen. Budaya impunitas yang mengakar membuat kinerja legislatif jarang berimplikasi pada konsekuensi politik. Situasi ini diperparah dengan langkah efisiensi anggaran yang cenderung selektif: program publik dan infrastruktur kerap terkena pemotongan, sementara tunjangan elit tetap terjaga. Lebih jauh, dalam konteks demografi Indonesia yang besar dengan pendapatan rata-rata rendah, usulan kenaikan gaji justru berpotensi memperburuk krisis kepercayaan publik. Dengan sekitar 150 juta penduduk berpenghasilan rendah, jarak sosial-ekonomi dengan elit politik menjadi semakin lebar. Dipo menilai kebijakan semacam ini bukan hanya menciptakan kebencian publik, tetapi juga dapat mengirim sinyal negatif bagi iklim investasi asing. Menurut Dipo, jika parlemen ingin memulihkan legitimasi dan kepercayaan, penyesuaian gaji dan tunjangan harus dilakukan secara sederhana, transparan, serta mempertimbangkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat luas. Tanpa itu, setiap langkah justru berisiko memperlebar jurang antara rakyat dan wakil yang seharusnya merepresentasikan kepentingan mereka. Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
Keputusan Bupati Pati, Sudewo, untuk menaikkan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) memicu gelombang penolakan dari masyarakat. Puncaknya, pada 13 Agustus 2025, ribuan warga menggelar demonstrasi besar-besaran di depan Kantor Bupati. Aksi yang semula dimaksudkan sebagai penyampaian aspirasi tersebut berujung ricuh setelah aparat menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa. Ketegangan itu tidak lepas dari pernyataan Sudewo yang sebelumnya menantang warganya untuk berdemo setelah menolak keluhan mereka terkait kenaikan tarif pajak. Respons keras masyarakat kemudian diperkuat oleh langkah politik: delapan fraksi di DPRD Pati sepakat menggunakan hak angket untuk menyelidiki kebijakan tersebut. Langkah ini sekaligus membuka tuntutan politik agar Sudewo, sebagai kepala daerah, mempertanggungjawabkan keputusannya hingga pada seruan untuk mundur dari jabatannya. Bagaimana menurut ahli terkait kejadian ini? Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami berdiskusi dengan Wasisto Raharjo Jati, Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Wasisto melihat apa yang terjadi di Pati adalah bentuk protes moral akibat kebijakan pemerintah setempat yang seakan tidak peka terhadap himpitan sosial ekonomi yang sedang dirasakan oleh masyarakat. Pada hakikatnya, protes moral lahir dari rasa ketidakadilan dan ditujukan untuk memperbaiki kebijakan. Wasisto juga mengkritisi pola komunikasi pemangku jabatan yang seringkali ambigu, memunculkan kontroversi, lalu diakhiri dengan permintaan maaf. Ia menekankan bahwa komunikasi publik seharusnya bersifat dua arah, dengan sensitivitas terhadap aspirasi masyarakat. Pola komunikasi satu arah yang masih dominan dapat menyebabkan penurunan kualitas demokrasi, karena pejabat sering kali menolak kritik alih-alih mendengarkan mandat publik yang menjadi dasar legitimasi mereka. Ia menambahkan bahwa aksi publik justru akan semakin kuat dan membesar apabila pemerintah tidak bisa mengomunikasikan sebuah permasalahan dengan baik dan ini justru akan menyebabkan aksi massa yang lebih besar. Menurut Wasisto, gerakan sosial sering dihadapkan pada hadirnya “penumpang gelap” yang membawa kepentingan politik atau agenda pribadi. Sulit untuk membedakan antara gerakan yang benar-benar mewakili suara masyarakat dengan gerakan yang sudah dikooptasi oleh elite. Ia menyarankan agar masyarakat lokal secara aktif mengidentifikasi siapa yang terlibat, sehingga energi kolektif tetap diarahkan pada tujuan publik, bukan keuntungan politik jangka pendek. Wasisto juga menekankan bagaimana kesenjangan komunikasi dan minimnya keterlibatan publik masih menjadi persoalan besar dalam tata kelola pemerintahan. Oleh karena itu, penting bagi pemimpin untuk bisa sensitivitas terhadap keluhan publik, serta memastikan adanya ruang partisipasi yang nyata dalam penyusunan kebijakan. Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
Indonesia kini berada di persimpangan jalan menuju 2045, tahun yang kerap dibayangkan sebagai puncak kemajuan bangsa. Istilah “generasi emas” terdengar di banyak forum, membawa harapan tentang ekonomi yang lebih kuat, lingkungan yang lebih sehat, dan kehidupan masyarakat yang lebih layak. Namun, di balik harapan besar tersebut, tantangan Indonesia terasa seperti benang kusut yang sulit diurai. Angka stunting yang masih tinggi dan masih menghantui tumbuh kembang anak, tuberkulosis belum terkendali, hutan terus menyusut, air bersih makin sulit diakses, dan dinamika politik serta ekonomi sering kali tidak stabil. Lantas, bisakah kita menyelesaikan masalah rumit ini? bagaimana refleksi tim newsroom The Conversation Indonesia melihat situasi Indonesia saat ini? Memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia ke-80, seluruh editor TCID membahas permasalahan ini dalam episode SuarAkademia terbaru bersama Muammar Syarif sebagai pembawa acara. Stabilitas politik Indonesia beberapa waktu terakhir menjadi sorotan utama. Menurut Editor Politik dan Masyarakat TCID, Nurul Fitri Ramadhani, instabilitas politik di Indonesia terjadi akibat rendahnya transparasi pemerintah dalam mengambil kebijakan dan buruknya komunikasi publik. Ia juga berpendapat kondisi yang tidak stabil ini pada akhirnya menghambat kemajuan seluruh sektor penting di Indonesia. Hal ini diamini oleh Editor Ekonomi TCID, Andi Ibnu Masri Rusli. Kondisi politik yang tidak stabil dalam beberapa waktu ini menurunkan kepercayaan investor dan menghambat pertumbuhan ekonomi. Andi menegaskan, untuk menyejahterakan masyarakat, pemerintah perlu menyiapkan infrastruktur memadai, memperbaiki tata kelola, dan menyehatkan iklim investasi. Editor Lingkungan TCID, Dewi N. Piliang melihat ada hal lain yang juga tidak kalah penting untuk menjadi bahan refleksi. Dewi mengatakan bahwa permasalahan lingkungan sering “dipinggirkan” dan tidak dianggap menjadi masalah serius. Ia menegaskan permasalahan lingkungan di Indonesia terjadi karena kebijakan pemerintah yang kurang tegas, terutama pada peta jalan pengurangan emisi karbon dan transisi energi terbarukan. Dewi juga melihat isu terkait lingkungan juga jarang dijadikan prioritas untuk keberlangsungan negara dalam skala jangka panjang. Kebijakan yang diambil belakangan ini cenderung hanya mempertimbangkan nilai ekonomi, tanpa memperhatikan keberlanjutan lingkungan. Editor Kesehatan TCID, Aditya Prasanda juga mengutarakan permasalahan yang juga harus ditangani serius. Ia menyoroti urgensi penanganan tuberkulosis dan stunting yang masih menjadi masalah besar. Stunting, misalnya, tak hanya berdampak pada tumbuh kembang anak, tetapi juga berimplikasi pada produktivitas ekonomi jangka panjang. Aditya menekankan pentingnya edukasi orang tua, pemenuhan gizi yang tepat, serta praktik menyusui dini dan eksklusif. Keterlibatan pemerintah dalam membuat sistem dan peraturan kesehatan yang bisa menjamin kesejahteraan publik juga ia soroti untuk memperbaiki situasi saat ini. Bidang pendidikan juga tak luput dari kritik. Hayu Rahmitasari, editor Pendidikan dan Budaya The Conversation Indonesia mengungkapkan bahwa pendidikan di Indonesia semakin dikomersialkan dan sarat kepentingan politik sehingga kehilangan esensi sebagai wadah pembentukan kompetensi. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran terhadap kesiapan “generasi emas” 2045, apalagi jika tidak diimbangi dengan daya dukung lingkungan yang memadai dan pertimbangan etika dalam pembangunan. Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
CC BYPresiden Prabowo Subianto memberikan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong) dan amnesti kepada Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto. Keputusan ini diumumkan pada 31 Juli 2025. Pengumuman ini disampaikan oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad usai rapat konsultasi antara pemerintah, pimpinan DPR, dan seluruh fraksi. Dalam rapat tersebut, DPR juga menyetujui pemberian amnesti kepada 1.116 orang, termasuk Hasto. Secara sederhana, abolisi adalah hak presiden untuk menghentikan proses hukum terhadap seseorang yang tengah menghadapi tuntutan pidana, bahkan sebelum kasusnya diputus pengadilan. Sementara amnesti adalah pengampunan yang diberikan presiden untuk menghapus hukuman pidana yang sudah dijatuhkan oleh pengadilan. Dalam konteks ini, keputusan Presiden berlaku atas dua tokoh politik yang sempat terseret kasus hukum. Tom Lembong sebelumnya divonis 4,5 tahun penjara dalam kasus korupsi impor gula, sedangkan Hasto dijatuhi hukuman 3,5 tahun penjara dalam perkara suap yang melibatkan Harun Masiku. Apakah pemberian amnesti dan abolisi ini bermuatan politik? Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami membahas isu ini bersama Andhik Beni Saputra, akademisi dari departemen politik Universitas Andalas. Menurutnya, keputusan ini dapat memperkuat pola patronase dalam sistem demokrasi Indonesia. Ia menilai, pemberian amnesti dan abolisi terhadap pejabat yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan bukan hanya menimbulkan kesan favoritisme, tetapi juga berpotensi mencederai prinsip keadilan. Ia menyoroti secara khusus kasus Tom Lembong, yang menurutnya tidak bisa dilepaskan dari konteks politik yang lebih luas. Waktu pemberian abolisi kepada Tom dipandang mencurigakan, karena bisa saja menjadi bagian dari strategi untuk membungkam atau mencegah tumbuhnya kekuatan oposisi baru di masa mendatang. Lebih jauh, Andhik juga mengulas kondisi oposisi politik di Indonesia yang menurutnya masih menghadapi berbagai tantangan serius, terutama dalam era pasca-Reformasi. Walaupun secara formal keberadaan oposisi tetap dijamin, secara substansi kekuatan mereka sering kali melemah karena minimnya dukungan, baik dari sisi sumber daya maupun kepercayaan publik. Partai-partai oposisi cenderung bergabung dengan pemerintah untuk memperoleh akses terhadap kekuasaan dan kesempatan mengimplementasikan agenda mereka. Situasi ini menciptakan kekosongan dalam oposisi kritis yang seharusnya memainkan peran penting dalam mekanisme check and balance. Andhik melihat bahwa politik Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh pendekatan yang pragmatis dan transaksional. Proses politik, terutama saat pencalonan hingga pascapemilu, sering kali diwarnai oleh kompromi antarelite dan pertukaran kepentingan yang bersifat jangka pendek. Meski demikian, ia juga mengakui adanya perkembangan yang menjanjikan. Partisipasi publik kini menunjukkan tren yang semakin kritis, di mana para pemilih mulai menuntut lebih banyak akuntabilitas dari para kandidat. Tekanan publik untuk menghadirkan rekam jejak dan visi kebijakan yang jelas menjadi tanda bahwa demokrasi Indonesia, perlahan tapi pasti, sedang bergerak menuju kematangan. Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
Konflik bersenjata kembali pecah di perbatasan Thailand dan Kamboja sejak Kamis, 24 Juli 2025, menewaskan sedikitnya 16 orang dan memaksa puluhan ribu warga mengungsi dari wilayah konflik. Aksi saling serang ini menandai babak baru dalam sengketa panjang dua negara bertetangga di Asia Tenggara tersebut yang telah berlangsung lebih dari 100 tahun. Di tengah eskalasi tersebut, Thailand menutup akses perbatasannya, sementara Kamboja memutus hubungan diplomatik dengan Bangkok. Pemerintah Kamboja menuduh Thailand bertindak represif dan menggunakan kekuatan yang dianggap berlebihan dalam operasi militernya. Setelah berlangsung selama beberapa hari, kedua negara sepakat untuk melakukan gencatan senjata segera tanpa syarat mulai tanggal 28 Juli 2025. Kesepakatan ini menjadi langkah penting untuk meredakan ketegangan yang sempat memicu kekhawatiran di kawasan. Bagaimana pendapat ahli tentang konflik kedua negara ini? Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami membahas isu ini bersama Irawan Jati, seorang dosen dari jurusan hubungan internasional, Universitas Islam Indonesia. Irawan menekankan bahwa akar konflik ini dapat ditelusuri kembali ke pengaruh kolonial Prancis dan Jepang di awal abad ke-20. Meski batas teritorial secara formal disepakati pada 1940-an, tensi antara kedua negara tetap muncul dan memanas dalam beberapa tahun terakhir. Pusat dari konflik ini adalah kuil Preah Vihear, situs warisan budaya yang terletak di wilayah perbatasan dan telah menjadi simbol nasionalisme bagi kedua negara. Meskipun Mahkamah Internasional telah menetapkan bahwa wilayah tersebut milik Kamboja, sebagian kecil area di sekitarnya tetap dipersengketakan. Irawan menjelaskan bahwa nilai simbolik dan historis dari situs ini menjadikannya lebih dari sekadar perebutan tanah. Ini adalah persoalan identitas nasional. Dalam konteks regional, ASEAN sebagai organisasi kawasan menghadapi tantangan besar dalam menangani konflik semacam ini. Irawan mengulas bagaimana pendekatan “ASEAN Way” yang menekankan konsensus, noninterferensi, dan kehati-hatian diplomatik sering kali membuat penyelesaian konflik berjalan lambat. Irawan menggarisbawahi bahwa mekanisme ASEAN tidak memungkinkan pemungutan suara atau intervensi langsung, sehingga upaya penyelesaian harus mengandalkan negosiasi dan mediasi sukarela antar negara. Konflik perbatasan ini tidak hanya berdampak pada hubungan bilateral antara Thailand dan Kamboja, tetapi juga menggoyahkan dinamika internal ASEAN. Irawan menyebutkan bahwa sengketa tersebut telah memengaruhi kelancaran pertemuan regional dan memunculkan ketegangan politik domestik, terutama di Thailand yang tengah menghadapi transisi kepemimpinan. Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
CC BYSelama kurun waktu dua dekade terakhir, Indonesia mengalami kemunduran signifikan dalam ekosistem lagu anak-anak. Jika menilik kembali ke era 1990-an, lagu anak bukan hanya populer tetapi menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari anak-anak Indonesia. Nama-nama seperti Enno Lerian, Trio Kwek Kwek, dan Joshua begitu lekat di benak generasi tersebut. Lagu-lagu yang mereka nyanyikan tidak hanya menghibur, tetapi juga sarat pesan moral dan edukatif. Namun sejak awal 2000-an, pamor lagu anak-anak perlahan meredup. Produksi lagu untuk segmen ini menurun drastis, dan hampir tidak ada lagi figur penyanyi cilik yang mendapat sorotan nasional sebagaimana era sebelumnya. Apa yang menyebabkan fenomena ini terjadi? Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami membahas isu ini bersama Muhammad Rayhan Sudrajat, akademisi dari Universitas Katolik Parahyangan. Rayhan menyoroti potensi lagu sebagai sarana edukasi yang efektif untuk membentuk cara berpikir anak sejak dini. Menurutnya, lagu anak-anak lebih dari sekadar hiburan. Lagu anak-anak juga memiliki peran signifikan dalam proses pendidikan dan pembentukan karakter. Pesan yang dibawakan dalam lagu anak-anak seperti menyayangi teman, mengenal lingkungan, hingga menjadi kepribadian yang baik bisa menjadi alat pendidikan yang menghibur dan efektif untuk membentuk anak-anak apabila digarap dengan serius. Ia melihat lagu anak-anak Indonesia yang dulunya mencerminkan budaya lokal dan nilai-nilai tradisional kini semakin terpinggirkan karena tidak lagi mencerminkan realitas anak-anak modern. Banyak lagu anak yang ada justru gagal berbicara dalam bahasa dan pengalaman yang akrab bagi generasi digital sehingga terasa asing dan kurang diminati. Di sisi lain, konten musik yang mudah diakses lewat platform digital sering kali tidak ditujukan untuk anak-anak, bahkan mengandung nilai yang tidak sesuai dengan usia mereka. Rayhan menganggap krisis lagu anak menuntut respons kolektif dari pembuat musik dan orang tua sebagai aktor kunci dalam membangun kembali ekosistem musik anak yang sehat. Para musisi perlu menyadari tanggung jawab sosial mereka untuk menciptakan lagu yang tidak hanya menarik secara estetika, tetapi juga sarat nilai edukasi dan relevan secara budaya. Di sisi lain, orang tua berperan sebagai kurator utama dalam membimbing konsumsi media anak untuk memastikan konten yang dikonsumsi sesuai dengan usia dan mendukung perkembangan psikologis yang sehat. Ia juga menyatakan perlunya kehadiran ikon musik anak yang mampu menjadi panutan untuk bisa menghidupkan eksistensi lagu anak mengingat absennya figur inspiratif dalam industri ini. Dengan kemajuan teknologi yang membuat proses produksi dan distribusi musik kini semakin terjangkau dan efisien, Rayhan melihat ini sebagai peluang untuk menghadirkan lagu-lagu anak yang relevan dan mudah diakses sekaligus menjaga kekayaan bahasa dan budaya lokal. Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengumumkan penyesuaian kebijakan tarif impor baru bagi Indonesia menjadi 19%. Hal ini diklaim buah hasil negosiasi perdagangan antara kedua negara yang memberi bobot keuntungan strategis lebih bagi Amerika Serikat. Dalam konferensi pers di Gedung Putih, Trump menyampaikan pujian kepada Presiden Indonesia yang dinilai korporatif. Alhasil, AS mendapatkan “akses penuh” ke pasar Indonesia. Tentunya, seharusnya kesepakatan ini bisa memberi keuntungan bagi Indonesia. Ancaman penerapan tarif 32% bisa ditekan menjadi hanya 19%. Lantas, apa tarif ini bisa meningkatkan daya saing produk Indonesia? Apa dampak dari adanya tarif impor ini terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sedang nampak lesu secara garis besar? Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami membahas isu ini bersama Teuku Riefky, peneliti dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia. Riefky melihat tarif yang diberlakukan oleh AS bukan soal ekonomi dan perang dagang semata. Menurutnya ada kecenderungan pemerintah yang menyalahkan aktor asing atas tantangan perekonomian domestik. Dalam konteks ini, kebijakan tarif tampak lebih sebagai simbol politik daripada instrumen ekonomi yang efektif. Padahal penurunan industri di AS lebih banyak disebabkan oleh inefisiensi internal, bukan oleh gempuran barang impor. Riefky melihat ada beberapa hal yang perlu dikritik dari kebijakan ini, salah satunya kebijakan tarif sebagai pendekatan yang bisa menghasilkan surplus perdagangan dengan satu negara namun memicu defisit dengan negara lain yang justru menciptakan ketidakseimbangan dalam jangka panjang. Riefky berpendapat dengan adanya kebijakan tarif impor yang akan diterapkan mulai Agustus 2025, sektor ekspor nasional terutama pada industri yang bergantung pada pasar Amerika seperti tekstil, mesin, dan alas kaki menjadi yang paling terdampak dalam gelombang pertama. Meskipun volume ekspor Indonesia ke AS tidak sebesar ekspor ke Tiongkok, kebijakan tarif tetap membawa efek lanjutan seperti meningkatnya biaya impor hingga potensi relokasi investasi ke negara-negara dengan tarif yang lebih bersahabat. Riefky beranggapan berapapun tarif yang disepakati peluang melambatnya pertumbuhan ekonomi nasional menjadi semakin besar. Menurutnya sulit bagi Indonesia untuk bisa mencapai pertumbuhan ekonomi diatas 5 persen tanpa adanya strategi khusus untuk memperbaiki situasi ini. Ada faktor penekan laju ekonomi domestik penting yang lebih nyata yakni daya beli masyarakat yang menurun. Riefky menyebut membuat iklim investasi domestik yang kompetitif adalah syarat mutlak untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional saat ini. Tarif yang dikenakan saat ini bisa saja membuat investor asing justru kabur dari Indonesia yang secara jangka panjang akan berakibat pada penurunan daya beli dan tingkat konsumsi. Ia juga menyarankan agar pemerintah segera mengambil langkah alternatif seperti diversifikasi pasar ekspor, reformasi perizinan, dan pembenahan birokrasi untuk menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi nasional. Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) jadi program mercusuar pemerintahan Prabowo-Gibran yang sudah berlangsung selama lebih dari enam bulan. Inisiatif ini menyasar kelompok-kelompok yang rentan mengalami kekurangan gizi, seperti anak-anak sekolah (SD, SMP, SMA dan sederajat), para santri, balita, hingga ibu hamil dan menyusui. Sejauh ini, pemerintah mengklaim sudah menjangkau lebih dari 5,5 juta penerima manfaat. Namun, program ini tidak sewangi itu di lapangan. Kasus keracunan makanan terhadap siswa, kadar gizi makanan muncul di permukaan. Pelaksanaan program dianggap terburu-buru, hingga pengelolaan anggaran dan risiko korupsi menjadi problem yang masih menyelimuti pelaksanaan MBG selama 1 semester terakhir. Setelah berjalan selama 6 bulan, perbaikan apa yang perlu dilakukan pemerintah dalam penyelenggaraan program ini? Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami berdiskusi dengan Riandy Laksono, seorang peneliti dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) untuk membahas topik ini. Riandy melihat adanya ketimpangan antara target dan pencapaian yang menunjukkan adanya permasalahan struktural dalam perencanaan dan pelaksanaan. Meskipun pemerintah telah berupaya mengamankan anggaran, persoalan tata kelola dan efektivitas penyaluran dana masih menjadi pekerjaan rumah besar. Ia berpendapat Badan Gizi Nasional selaku lembaga baru yang mengelola program ini masih beradaptasi dengan mekanisme manajemen keuangan negara. Alhasil, masih banyak hal terkait pelaksanaan yang perlu diperbaiki sehingga program Makan Bergizi Gratis dapat berjalan lebih baik. Tidak hanya itu, dana untuk MBG ternyata berasal dari pengalihan dari sektor lain seperti infrastruktur dan operasional kementerian yang menimbulkan pertanyaan tentang prioritas kebijakan fiskal. Ketidaksiapan struktur pelaksana dan kurangnya koordinasi antar-sektor berisiko menjadikan MBG sebagai program yang kontraproduktif. Ini menimbulkan dilema kebijakan: apakah MBG dirancang sebagai program kesehatan publik atau sebagai instrumen pertumbuhan ekonomi? Ketidakjelasan ini menciptakan tarik-ulur pelaksanaan teknis yang berpotensi memperburuk efisiensi program di lapangan. Riandy menekankan bahwa penyediaan makanan bergizi tidak cukup hanya dilihat dari jumlah penerima, tetapi juga dari aspek keamanan pangan dan kandungan gizi yang sesuai standar. Ia berharap pemerintah bisa fokus terhadap kualitas makanan yang diberikan sehingga pada akhirnya target untuk memperbaiki kualitas pelajar di Indonesia dalam aspek gizi bisa terpenuhi melalui program ini. Menurutnya, keterlibatan masyarakat sipil dalam mendukung transparansi dan akuntabilitas program pemerintah juga tak kalah penting. Pemerintah diharapkan membuka ruang dialog yang lebih inklusif, termasuk menerima kritik dari para ahli dan pemangku kepentingan di bidang pendidikan dan kesehatan. Pembentukan mekanisme pengaduan publik yang transparan serta pelibatan aktif masyarakat dalam pemantauan program menjadi langkah strategis untuk meningkatkan legitimasi dan efektivitas kebijakan. Riandy menambahkan Program berbasis niat baik perlu didukung dengan desain kebijakan berbasis bukti dan evaluasi menyeluruh terhadap dampaknya. Dengan arah kebijakan yang lebih terintegrasi, diharapkan program-program ini tidak hanya bersifat simbolik, tetapi mampu mendorong perubahan nyata dalam kualitas hidup generasi masa depan. Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
Banyak pihak mulai mempertanyakan arti penting persaingan di dunia perguruan tinggi dalam beberapa waktu terakhir. Ketika dunia kerja semakin tak pasti dan arah pendidikan kerap berubah, menjaga fokus pada capaian akademis terasa bukan lagi perkara mudah. Percakapan soal ini kian hangat ketika muncul sorotan terhadap fenomena inflasi Indeks Prestasi Kumulatif (IPK). Tak sedikit warganet yang memperbincangkan betapa gampangnya mahasiswa Indonesia saat ini meraih nilai akhir tinggi. Predikat cum laude, yang dulu hanya disematkan pada mereka yang benar-benar menonjol karena lulus dengan IPK dan masa studi yang bagus, kini terdengar di hampir setiap prosesi wisuda. Isu ini memunculkan pertanyaan besar: Fenomena sosial apa yang bisa kita pelajari lebih dalam? Apakah mahasiswa diuntungkan atau justru ini akan memberatkan mereka dalam mencari pekerjaan setelah lulus? Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami membahas topik ini bersama Senza Arsendy, mahasiswa doktoral dari The University Of Melbourne, Australia. Senza menganggap tren ini dipengaruhi oleh sejumlah faktor, mulai dari peningkatan keterampilan akademis individu, dinamika sosial, hingga neoliberalisme pendidikan. Ia juga menekankan bahwa gejala inflasi nilai ini tidak hanya terjadi di jenjang pendidikan tinggi, tetapi juga mulai terlihat di tingkat sekolah yang lebih rendah. Ia melihat fenomena ini juga erat kaitannya dengan komersialisasi pendidikan yang semakin marak. Di tengah pendidikan tinggi yang semakin mahal, Senza menganggap ada logika yang dianggap wajar oleh mahasiswa dan orang tua. Biaya kuliah yang tinggi dianggap berbanding lurus dengan IPK tinggi sebagai bentuk timbal balik dari uang yang dikeluarkan. Senza juga melihat persaingan di pasar kerja menjadi penyebab mengapa fenomena inflasi IPK ini muncul. Kompetisi di pasar kerja yang semakin sulit membuat banyak mahasiswa berlomba untuk mendapatkan IPK bagus. Di sisi lain, pemberi kerja melihat situasi ini menguntungkan untuk mendapatkan tenaga kerja berkualitas tinggi dan melimpahnya ketersediaan tenaga kerja yang siap bergabung. Realitanya, saat ini perusahaan menuntut lulusan untuk memiliki kualifikasi yang lebih tinggi dibanding sebelumnya. Saat ini, IPK tinggi saja tidak cukup untuk menjamin peluang kerja yang baik. Banyak pemberi kerja saat ini mensyaratkan kualifikasi tambahan, seperti pengalaman kerja, kemampuan berbahasa asing, dan keterampilan teknis tertentu. Bahkan, dalam beberapa kasus, jejaring profesional atau koneksi juga memengaruhi peluang seseorang untuk diterima bekerja. Kondisi ini menambah tekanan bagi mahasiswa untuk terus meningkatkan kompetensi mereka, yang tidak jarang berujung pada stres dan kecemasan menghadapi masa depan. Senza berpendapat, perlu ada pembahasan multi-sektoral dari pihak universitas, pemberi kerja, hingga pemerintah untuk merumuskan strategi yang dapat menjembatani kesenjangan antara dunia pendidikan dan kebutuhan riil pasar tenaga kerja. Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
Konflik antara Iran dan Israel kembali memanas dalam beberapa pekan terakhir dan menjadi sorotan global, termasuk di Indonesia. Ketegangan ini dipicu oleh serangkaian aksi saling serang yang menimbulkan korban jiwa dalam jumlah besar, memperburuk stabilitas kawasan Timur Tengah. Iran dilaporkan meluncurkan lebih dari 400 rudal ke wilayah Israel dalam kurun waktu satu minggu, dengan sekitar 200 di antaranya ditembakkan dalam satu waktu dalam serangan skala besar. Aksi ini disebut sebagai respons terhadap serangan udara Israel terhadap wilayah yang dinilai penting secara strategis oleh pemerintah Iran. Sedangkan serangan yang dilakukan Israel menyebabkan dampak besar, baik dari segi korban maupun kerusakan. Laporan dari berbagai media internasional menyebutkan bahwa lebih dari 600 orang meninggal dunia dan lebih dari 1.300 lainnya terluka akibat serangan tersebut. Sebagai balasan, Iran meluncurkan rudal ke wilayah Israel yang menyebabkan sedikitnya 25 korban jiwa dan ratusan lainnya luka-luka. Di tengah kondisi yang semakin memburuk, Presiden Iran Masoud Pezeshkian mengumumkan bahwa pihaknya telah mencapai kesepakatan gencatan senjata dengan Israel pada 25 Juni 2025. Pernyataan ini disampaikan melalui media resmi pemerintah dan dikutip oleh beberapa media internasional. Dalam pernyataannya, Pezeshkian menyebut bahwa gencatan senjata ini merupakan hasil dari apa yang ia sebut sebagai “perjuangan heroik” rakyat Iran dalam menghadapi krisis. Pezeshkian juga menegaskan bahwa posisi Iran didasarkan pada upaya mempertahankan hak-hak nasionalnya di tingkat global. Ia berharap negara-negara lain, baik di kawasan maupun di dunia internasional, dapat memahami sikap Iran sebagai negara yang menjunjung tinggi kedaulatan dan hukum internasional. Selain itu, ia menyatakan bahwa Iran terbuka terhadap penyelesaian konflik, termasuk dengan Amerika Serikat (AS), selama proses tersebut dilakukan dalam koridor hukum dan norma internasional. Lantas, apakah perang ini sudah benar-benar selesai? Dalam SuarAkademia terbaru, kami membahas isu ini bersama Ayu Anastasya Rachman, seorang Akademisi dari Universitas Bina Mandiri Gorontalo. Menurut Ayu, untuk memahami kompleksitas konflik ini, kita perlu lebih dulu menilik akar historis dan ideologisnya. Sejak Revolusi Islam tahun 1979, Iran mengalami pergeseran politik signifikan dari pemerintahan monarki pro-Barat ke rezim yang secara terbuka menentang pengaruh asing dan Israel. Perubahan ini memicu ketegangan yang berlanjut hingga kini, ditandai dengan pemutusan hubungan diplomatik dan penguatan retorika anti-Israel di level kebijakan luar negeri Iran. Ayu melihat bahwa secara domestik, Iran berada dalam posisi yang rentan. Tekanan ekonomi, sanksi internasional, dan kebutuhan untuk mempertahankan stabilitas internal mendorong strategi politik yang lebih agresif. Ia berpendapat jika “isolasi internasional” terus berlanjut, Iran berpotensi mengembangkan teknologi nuklir secara ilegal, yang nantinya akan memperkuat dinamika perlombaan senjata di kawasan. Respons dunia internasional juga penting untuk kita amati. Respons negara-negara anggota G7, misalnya, tidak seimbang dalam mengomentari hak membela diri. Ketimpangan dalam tatanan politik global menjadi sorotan, terutama ketika negara-negara tertentu dianggap memiliki hak istimewa untuk menggunakan kekerasan atas nama pertahanan, sementara yang lain justru dikriminalisasi. Meskipun pada saat ini Iran dan Israel sudah menyepakati untuk melakukan gencatan senjata, Ayu tidak menampik adanya Kekhawatiran bahwa perang ini dapat terjadi kembali bahkan menjadi perang dengan skala lebih besar. Mengingat Israel yang sering melakukan serangan terlebih dahulu dengan dalih bentuk pertahanan diri, konflik bisa saja terjadi kembali. Di tengah ketegangan yang berlangsung, Ayu berpendapat skenario gencatan senjata jangka panjang antara Iran dan Israel tetap terbuka, terutama jika terdapat jaminan bahwa Israel tidak akan melanjutkan agresinya di wilayah Palestina. Selain itu, salah satu prasyarat penting dari pihak Iran adalah pelonggaran atau pencabutan embargo ekonomi yang diberlakukan oleh AS dan sekutu Baratnya. Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, baru-baru ini mengungkapkan kebijakan baru di sektor pendidikan yang memicu beragam opini. Mulai Juni 2025, seluruh siswa di provinsi tersebut tidak akan lagi diberikan pekerjaan rumah (PR). Kebijakan ini dimaksudkan untuk meringankan tekanan akademis yang biasa dibawa pulang oleh pelajar sekaligus memberi ruang lebih bagi mereka untuk bersantai, bermain, dan membangun hubungan sosial serta kedekatan keluarga. Dedi Mulyadi menekankan bahwa proses belajar-mengajar seharusnya diselesaikan sepenuhnya di sekolah, sementara rumah idealnya menjadi tempat yang nyaman untuk perkembangan emosional dan interaksi sosial anak-anak. Lantas, apakah kebijakan penghapusan PR ini sudah tepat? Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami berdiskusi dengan Ulfah Alifia (Uli), senior researcher dari SMERU Reserarch Institute mengenai kebijakan ini. Uli berpendapat keputusan ini patut dipertanyakan. Meskipun mengurangi beban belajar siswa bukanlah hal buruk, tapi ia mempertanyakan alasan kebijakan ini: apakah sudah berbasis riset yang tepat atau hanya sekadar meniru negara-negara maju tanpa memperhatikan faktor penunjang pendidikan yang lain. Secara historis, menurut Uli, PR dipandang sebagai sarana untuk memperdalam pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran dan mendorong kemandirian belajar. Namun, praktik di lapangan menunjukkan bahwa PR sering kali tidak dirancang dengan strategi pedagogis yang jelas bahkan cenderung menjadi pengulangan tugas tanpa makna sehingga hanya menambah beban siswa. Uli juga berpendapat bahwa PR ini seharusnya menjadi bahan evaluasi guru untuk menilai proses pembelajaran di kelas. Menurutnya, dengan pemberian PR, seorang guru bisa menilai apakah proses pembelajaran yang dilakukan sudah menjamin seluruh peserta didik memahami materi pembelajaran atau belum. Idealnya, menurut Uli, PR seharusnya menjadi bahan evaluasi guru mengenai proses pembelajaran yang sudah berjalan dan bukan menjadi tolok ukur pemahaman siswa tentang pembelajaran yang sudah berlangsung. Uli khawatir, PR tidak lagi menjadi alat pembelajaran yang efektif melainkan hanya formalitas administratif. Sebab, ia melihat bagaimana PR seringkali dijadikan patokan pemahaman siswa dalam sebuah proses pembelajaran. Jika memang kebijakan penghapusan PR ini diberlakukan, Uli menilai kebijakan ini harus dibarengi dengan reformasi struktural yang memperkuat kapasitas dan profesionalisme guru. Menurutnya, aspek seperti infrastruktur pendidikan, kurikulum, dan kualitas guru menjadi faktor yang juga harus dipikirkan. Uli juga beranggapan bahwa pemerintah memiliki tugas lain yang sebenarnya lebih mendesak untuk diselesaikan, yaitu bagaimana kurikulum saat ini bisa menimbulkan minat belajar siswa lebih tinggi dari biasanya. Ia menekankan pentingnya penciptaan metode pengajaran yang lebih menarik dan bermakna, yang dapat merangsang rasa ingin tahu sekaligus mengembangkan keterampilan berpikir kritis. Sebagai penutup, Uli menyatakan bahwa kebijakan menghapus PR ini hanya akan berujung pada pengurangan beban dan tidak akan menumbuhkan minat belajar apabila tidak dibarengi dengan perbaikan di sektor lain. Artinya, penghapusan PR tidak akan serta-merta mendongkrak kualitas pendidikan. Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
Pemerintah Indonesia kembali menggulirkan program Bantuan Subsidi Upah (BSU) sebagai bagian dari upaya menjaga daya beli masyarakat pekerja di tengah tekanan ekonomi. Program ini mulai dicairkan pada 5 Juni 2025, menyasar para buruh dan pekerja yang memenuhi syarat tertentu sesuai regulasi ketenagakerjaan dan kebijakan ekonomi nasional. BSU ini dirancang sebagai bentuk intervensi fiskal langsung untuk membantu kelompok pekerja yang terdampak dinamika ekonomi seperti deflasi atau menurunnya daya beli masyarakat. Bantuan ini diberikan sebesar Rp300.000 per bulan selama dua bulan (Juni–Juli) dan langsung dicairkan sekaligus sebesar Rp600.000 pada bulan Juni. Pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp10,72 triliun untuk pelaksanaan program BSU tahun ini. Di tengah tantangan seperti inflasi dan ketidakpastian global, pemerintah berharap bantuan semacam ini bisa menjadi stimulan bagi masyarakat supaya tetap bisa menggerakkan roda ekonomi. Apakah pemberian BSU ini benar benar menjadi solusi jitu untuk menggerakkan perekonomian negara yang belakangan dianggap lesu? Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami membahas isu ini bersama Jaya Darmawan, peneliti ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS). Jaya berpendapat BSU menjadi salah satu instrumen andalan pemerintah untuk merespons tekanan ekonomi yang dialami masyarakat kelas pekerja. Meskipun program BSU bermanfaat dalam jangka pendek, ia menganggap besaran bantuannya belum mampu mengimbangi tekanan ekonomi saat ini. Salah satu masalah yang menurut Jaya juga perlu disoroti adalah kriteria kelayakan penerima manfaat. Banyak pekerja tidak memenuhi syarat bantuan karena batasan administratif yang tidak mempertimbangkan kompleksitas kerja informal. kriteria penerima BSU ini membuat pekerja yang ada di sektor informal kerap luput dari jangkauan bantuan sosial, meskipun mereka berada dalam posisi paling rentan secara ekonomi. Meskipun kebijakan pemerintah ini perlu disambut dengan baik, namun Jaya beranggapan langkah-langkah ini masih belum cukup untuk mendorong daya beli masyarakat secara berkelanjutan. Ia berpendapat perlu ada pergeseran arah kebijakan dari sekadar bantuan jangka pendek menuju strategi jangka panjang yang lebih menyeluruh. Fokus kebijakan pemerintah sebaiknya tidak hanya memperbaiki daya beli secara sementara, tetapi juga membuka akses terhadap pekerjaan yang layak dan mendukung pekerja untuk keluar dari sektor informal. Menurutnya, pemerintah perlu memikirkan strategi yang lebih komprehensif untuk menciptakan kebijakan ekonomi yang tidak hanya responsif terhadap krisis, tetapi juga berorientasi pada transformasi sosial dan ekonomi yang berkelanjutan. Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
CC BYMahkamah Konstitusi (MK) telah memberikan mandat kepada pemerintah untuk wajib menyediakan pendidikan dasar gratis di sekolah negeri maupun swasta untuk jenjang Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP). Putusan Nomor 3/PUU-XXII/2024 ini dibacakan dalam sidang di Gedung MK pada Selasa (27/5/2025). Keputusan tersebut mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) bersama tiga pemohon lain, yaitu Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum. Mereka mengajukan judicial review terhadap Pasal 34 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Apakah keputusan MK ini bisa langsung diterapkan oleh pemerintah? apa yang perlu diperhatikan dalam merumuskan kebijakan terkait keputusan MK? Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami berdiskusi dengan Adinda Tenriangke Muchtar, Direktur Eksekutif dari The Indonesian Institute. Adinda berpendapat keputusan MK perlu disambut positif karena akan berdampak terhadap kemudahan untuk mendapatkan akses pendidikan oleh seluruh lapisan masyarakat. Menurutnya, putusan ini sangat penting untuk bisa diturunkan menjadi kebijakan yang komprehensif untuk menaikkan kualitas sumber daya manusia di Indonesia. Namun Adinda melihat implementasi putusan ini akan menghadapi berbagai tantangan besar, salah satunya adalah besarnya beban anggaran yang harus ditanggung negara. Di tengah efisiensi anggaran pemerintah dan banyaknya proyek strategis nasional yang berjalan, Adinda melihat pemerintah perlu melakukan refocusing anggaran yang tentu prosesnya tidak mudah. Adinda juga menekankan pentingnya memberi perhatian terhadap peningkatan kualitas pendidikan, termasuk kesejahteraan guru sebagai ujung tombak pelaksana kebijakan di lapangan. Menurutnya, pemerintah seharusnya menjadikan peningkatan kualitas pendidikan sebagai prioritas agar nantinya putusan MK ini tidak hanya memberikan akses ke pendidikan saja, tapi juga memberikan kualitas pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan. Adinda menegaskan, putusan MK juga perlu diikuti dengan turunan kebijakan yang jelas dan regulasi teknis yang terstruktur untuk menjamin implementasi secara efektif. Ia berpendapat pemerintah perlu berkolaborasi dengan banyak pihak untuk merumuskan kebijakan terkait putusan ini sehingga penerapannya bisa berjalan baik dan memberikan manfaat kepada masyarakat sesuai dengan amanat undang-undang dasar. Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
loading
Comments