Penanganan Janin Hidup dalam Rahim Ibu yang Wafat
Update: 2025-11-03
Description
Penanganan Janin Hidup dalam Rahim Ibu yang Wafat ini merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Kitab Shahihu Fiqhis Sunnah wa Adillatuhu yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Musyaffa Ad-Dariny, M.A. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Senin, 12 Jumadil Awal 1447 H / 3 November 2025 M.
Kajian Tentang Penanganan Janin Hidup dalam Rahim Ibu yang Wafat
1. Penanganan Janin Hidup dalam Rahim Ibu yang Wafat
Apabila seorang ibu hamil meninggal dunia dan di dalam rahimnya terdapat janin yang masih hidup, penanganan masalah ini wajib dikembalikan kepada ahlinya, yaitu tenaga medis.
Jika tenaga medis memperkirakan janin dapat diselamatkan, tindakan penyelamatan mesti diambil. Proses penyelamatan dilakukan dengan cara membelah perut jenazah guna mengeluarkan janin. Tindakan membelah perut mayit pada dasarnya tidak dibolehkan dalam Islam. Namun, karena adanya maslahat (kemaslahatan) yang lebih besar, yakni menyelamatkan nyawa janin, tindakan tersebut menjadi dibolehkan.
Di sini berlaku kaidah fiqhiyyah ارتكاب أخف الضررين (Irtikab Akhaffid Darain), yaitu mengambil bahaya yang paling ringan.
Membelah perut mayit adalah suatu kemudaratan (bahaya). Namun, membiarkan janin meninggal di dalam perut mayit juga merupakan kemudaratan. Dari kedua kemudaratan ini, kemudaratan membelah perut mayit untuk menyelamatkan nyawa janin dianggap lebih ringan. Kemudaratan hilangnya nyawa janin jauh lebih besar daripada kemudaratan terbelahnya perut jenazah.
Oleh karena itu, jika pandangan tenaga medis menyatakan janin bisa diselamatkan dengan membelah perut mayit, itulah pilihan yang harus diambil. Sebaliknya, jika tenaga medis berpendapat janin tidak mungkin diselamatkan, perut mayit tidak boleh dibelah untuk mengeluarkan janin karena tindakan tersebut merupakan kemudaratan yang lebih besar tanpa menghasilkan kemaslahatan.
Seandainya setelah perut mayit dibelah dan janin dikeluarkan, ternyata janin tidak terselamatkan, pihak yang melakukan usaha tersebut tidaklah berdosa. Mereka telah melakukan upaya sesuai dengan perkiraan medis dan kemampuan manusia. Manusia hanya bisa berusaha, adapun hasilnya dikembalikan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Hal ini serupa dengan kasus amputasi yang dilakukan dokter atas dasar perhitungan medis untuk menyelamatkan pasien dari penyakit yang lebih parah. Jika setelah operasi amputasi pasien meninggal, dokter tersebut tidak berdosa karena telah berusaha sesuai dengan ilmu yang dimilikinya. Hasil akhir sesungguhnya berada di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan di tangan manusia.
2. Mandi Wajib Bagi Jenazah yang Berhadas Besar
Jenazah yang meninggal dalam keadaan junub, haid, atau nifas memiliki dua sebab yang mewajibkan mandi, yaitu statusnya sebagai mayit (wajib dimandikan) dan status hadas besar (junub/haid/nifas). Jenazah tidak perlu dimandikan dua kali, cukup sekali mandi saja. Sekali mandi tersebut sudah mencukupi untuk dua sebab mandi wajib yang ada pada jenazah.
Perkara ini seperti ketika berkumpulnya dua sebab hadas besar pada seseorang yang masih hidup, seperti junub dan haid. Seorang wanita yang berjunub lalu haid sebelum mandi, cukup mandi sekali saja setelah suci dari haid. Mandi tersebut sudah mencukupi untuk menghilangkan hadas besar dari dua sebab yang berbeda.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: إنما الأعمال بالنيات “Sesunggu...
Comments
In Channel




